Pentingnya Carbon Footprint dalam Arsitektur Hijau

Seringkali kita mendengar istilah ‘carboon footprint’ di mana-mana. Mulai dari sekolah, tempat kerja, hingga social media. Tidak terkecuali saat kita membahas tentang arsitektur hijau. Inilah penjelasan tentang arti carbon footprint, serta betapa pentingnya arsitektur yang ramah lingkungan di jaman sekarang.

 

Apa itu carbon footprint?

Arti istilah carbon footprint atau jejak karbon adalah total gas rumah kaca yang dihasilkan tiap individu, aktivitas, kegiatan, tempat, maupun produk.

 

Mengapa gas rumah kaca?

Gas rumah kaca (karbondioksida atau CO2) adalah gas yang berbahaya bagi alam. CO2 yang menumpuk di bumi dapat merusak atmosfer, memperparah pemanasan global. Sehingga, bumi menjadi semakin panas.

 

Dari mana gas CO2?

Hampir semua aktivitas manusia menghasilkan gas karbondioksida. Contohnya, saat bernafas, kita menghasilkan CO2, namun dalam jumlah sedikit. Gas tersebut banyak dihasilkan salah satunya dari kendaraan bermotor. Kemudian, proses ternak hewan dan bertani dalam skala besar juga menghasilkan karbon dioksida. Terakhir, proses pembuatan produk di pabrik pun turut kontribusi.

Khoo Teck Puat Hospital

Rumah Sakit Khoo Teck Puat di Singapore ini 27% lebih hemat energi karena menggunakan banyak sistem hemat energi, salah satunya pemanas air tenaga matahari (Sumber: Eustaquio Santimano via Flickr)

 

Lalu, apa hubungan arsitektur dan interior design dengan carbon footprint?

Setiap produk yang kita gunakan dalam proses membangun dan mendekorasi rumah menghasilkan CO2. Mulai dari membuat bahan dasarnya, memproses di pabrik, hingga distribusi ke konsumen dengan alat transportasi. Sehingga, bahan dan benda yang menghasilkan banyak karbon pada prosesnya adalah tidak ramah lingkungan. Alasannya, karena memiliki carbon footprint yang banyak. Bila kita memakai banyak benda dan bahan tidak ramah lingkungan tersebut, kita turut memperparah pemanasan global.

Contohnya, lampu yang kita gunakan di rumah. Pembuatan bahan baku lampu pasti menghisilkan gas karbon. Begitu pula dengan proses mengantar bahan tersebut ke pabrik. Lalu, saat memproses bahan, mesin di pabrik akan menghasilkan gas tergantung dari bahan bakarnya. Kemudian, proses distribusi lampu yang sudah jadi menggunakan alat transportasi yang pasti menghasilkan polusi. Saat kita membeli dan menggunakan lampunya, kita membutuhkan listrik yang umumnya dari pembangkit listrik tenaga batu bara, yang menghasilkan sangat banyak gas CO2.

 

Lantas, apa usaha kita?

Maka muncullah istilah arsitektur hijau, atau ‘eco-friendly architecture’. Ini bukan sebuah gaya arsitektur, melainkan paham untuk membuat arsitektur yang sebisa mungkin ramah lingkungan. Arsitektur ini selalu mencari bahan bangunan yang tidak memiliki banyak carbon footprint. Selain itu, bangunan juga dibuat agar lebih ramah lingkungan dalam jangka panjang. Misalnya, menghemat energi listrik dengan pencahayaan dan ventilasi alami.

Roster keramik granit, bahan bangunan favorit arsitektur hijau

Arsitektur hijau sangat menyukai roster keramik granit untuk ventilasi dan pencahayaan alami, sehingga bisa menghemat penggunaan listrik

Salah satu contoh arsitektur hijau adalah memanfaatkan roster keramik granit. Roster adalah bahan bangunan yang sangat ramah lingkungan. Kita bisa menggunakannya untuk ventilasi alami, sehingga tidak perlu menggunakan AC di siang hari. Selain itu, partisi roster juga dapat menghemat AC. Satu AC cukup mendinginkan beberapa ruangan yang berbataskan dinding dan partisi roster. Dan juga, roster keramik granit tidak memerlukan perawatan yang sulit, cukup dilap saja untuk membersihkannya. Lalu, roster keramik granit yang diproduksi Mukura ramah lingkungan. Pembuatannya menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Terakhir, kemasan dari roster juga dari bahan daur ulang.